Jakarta

Hujan semalaman di Malaysia, banjir di Indonesia merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana bencana hidrologi yang menimpa kampung-kampung di sepanjang aliran Sungai Sembakung, Kalimantan Utara setiap tahunnya. Wilayah tersebut merupakan pemukiman penduduk berbasis sungai yang memiliki hulu di negara tetangga.

Ketika memasuki musim penghujan, sungai di wilayah hulu Malaysia yang dikenal dengan Sungai Pensiangan akan membawa debit air berlimpah hingga membanjiri wilayah hilir Indonesia. Tahun ini, bencana banjir tidak luput menerjang. Menurut berita yang dilansir korankaltara.com, kondisi banjir di desa Atap, salah satu desa yang berlokasi di wilayah hilir, telah terjadi sejak 31 Desember 2020 dan hingga hari ini cakupan wilayah terdampak masih terus meluas.

Jalur Sungai dan Komunitas yang Menembus Batas

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa aliran Sungai Sembakung merentang batas negara yakni air yang bersumber di hulu di Malaysia mengalir hingga wilayah hilir di Indonesia. Semakin ke hulu, aliran sungai akan dipadati oleh bebatuan cadas besar yang apabila air surut akan semakin tampak menjulang seperti karang yang ada di laut sehingga sulit untuk dilalui perahu.

Dari penjelajahan yang pernah saya lakukan, di beberapa bagian bantaran sungai terdapat batu-batu karang besar yang menjadi fondasi bagi terbentuknya kampung-kampung di sepanjang sungai. Sungai menjadi penghubung bagi interaksi masyarakat yang dipisahkan oleh batas territorial negara.

Keberadaan Sungai Sembakung dan Sungai Pensiangan merupakan jalur utama bagi masyarakat untuk melakukan interaksi budaya dan ekonomi. Melalui sungai tersebut, masyarakat melakukan interaksi antarkampung demi melaksanakan ritus daur hidup adat. Demikian pula, aktivitas ekonomi dilakukan oleh penduduk dengan menaiki perahu menembus sungai perbatasan Sabah, Malaysia.

Musim hujan seperti saat ini sebenarnya membawa dampak yang berbeda pada komunitas yang bermukim pada wilayah sepanjang sungai. Kondisi menguntungkan dirasakan oleh masyarakat yang bermukim pada bagian sungai terutama di wilayah tengah dan hulu. Karena, pada saat debit air sungai tinggi, bebatuan cadas akan tertutup oleh aliran air sehingga perahu dapat melintas. Sebaliknya apabila musim kemarau, batu cadas akan terlihat menjulang tinggi dan kondisi tersebut dapat menghalangi perlintasan perahu.

Meski membawa berkah bagi kemudahan perlintasan di wilayah tengah dan hulu, debit air sungai yang melimpah menjadi peristiwa bencana bagi penduduk yang bermukim di wilayah hilir. Air hujan yang turun semalaman di Malaysia akan mengalir dan tumpah ruah membanjiri perkampungan hilir Indonesia yakni di Kecamatan Sembakung, Kecamatan Sembakung Atulai, dan beberapa desa di Kecamatan Lumbis Induk. Tidak hanya membawa bencana banjir yang menerjang pemukiman, ladang pertanian, dan beberapa fasilitas umum, banjir “kiriman” itu juga membawa erosi material dan sampah kayu.

Bencana Banjir dan Kebijakan Pengelolaan Sungai Lintas Batas

Kondisi daerah aliran sungai yang menembus batas negara menjadikan kasus bencana banjir sebagai arena kontestasi dua kebijakan. Asumsi berkembang bahwa telah terjadi eksploitasi sumber daya hutan di wilayah hulu yang dilakukan pihak Malaysia. Eksploitasi tersebut membawa dampak terhadap perubahan ekosistem daerah aliran sungai yang tidak lagi dapat menampung debit air ketika hujan deras menerjang.

Realitanya, air bah yang berasal dari hulu sungai ikut membawa erosi material sedimentasi sungai dan banyaknya sampah kayu sebagai limbah ke wilayah hilir. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi tersebut secara alamiah terjadi tanpa didorong oleh eksploitasi sebagaimana yang disangka. Karena itu, menjadi penting bagi kedua negara untuk membicarakan bagimana pengelolaan sumber daya alam berbasis sungai yang ideal.

Kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai yang melibatkan dua pemerintahan negara seyogianya berfokus pada kepentingan komunitas perbatasan yang memiliki aktivitas saling terhubung. Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam di wilayah hulu tidak hanya berdampak pada komunitas sekitar, tapi juga pada kemaslahatan penduduk yang merentang batas negara hingga wilayah hilir.

Kolaborasi kebijakan bilateral berbasis komunitas sungai hendaknya mengedepankan pada kesejahteraan masyarakat di sepanjang lintasan sungai. Pengelolaan sumber daya alam harus dibarengi oleh kesadaran akan potensi kerusakan yang mengancam daerah aliran sungai sebagai ruang hidup ekokultural masyarakat perbatasan.

Puji Hastuti peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

(mmu/mmu)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here